MGR. SUNARKO : AGAMA MUSTI INKLUSIF



Uskup Pangkalpinang, Mgr Adrianus Sunarko OFM mengingatkan agar agama-agam inklusif dan mengabdi pada kemanusiaan.
Uskup Pangkalpinang Mgr Adrianus Sunarko OFM menegaskan agama-agama perlu mengedepankan sikap inklusif dan mengabdi pada kemanusiaan. Hal itu ia sampaikan saat pidato pengukuhannya sebagai profesor teologi pada 11 Mei di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Uskup yang juga Ketua Komisi Teologi Konferensi Waligereja Indonesia ini dikukuhkan setelah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengumumkan pengangkatannya pada November tahun lalu. Dalam pidatonya di hadapan guru besar dari berbagai perguruan tinggi, ia menyoroti peran agama di era post-sekular yang diharapkan “bersifat inklusif, saling menghargai antarpenganut yang berbeda serta mengakui martabat manusia dan hak asasi manusia.” Hal itu, jelasnya, sudah digariskan dalam Pancasila, dasar negara yang menegaskan lima prinsip dasar, yaitu keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. “Saya ingin menyampaikan pesan untuk mensyukuri kembali apa yang diwariskan para pendiri bangsa, berupa Pancasila, khususnya perihal peran agama yang inklusif dalam masyarakat plural,” katanya kepada ucanews.com pada 13 Mei. Ia menegaskan, berkaitan dengan peran teologi, ada dua posisi ekstrem yang perlu dihindari. Pertama, kata dia, posisi kaum fundamentalis yang menolak segala sesuatu yang modern, hanya menerima penafsiran harafiah atas Kitab Suci, menolak paham hak asasi manusia, kebebasan beragama dan eksklusif. Paham kedua, jelasnya, kelompok yang menyesuaikan, bahkan mengubah sumber-sumber wahyu dan iman sesuai dengan tuntutan modern. Ia menyoroti sejumlah pejuang lingkungan hidup yang mengharapkan adanya ‘green Bible’ dan menyarankan agar teks-teks dalam Kitab Suci yang tampak tidak ramah lingkungan sebaiknya dibuang dan sejumlah teolog feminis yang menyarankan agar semua teks yang nampak kurang ramah terhadap perempuan dihilangkan dari Kitab Suci. Ia menjelaskan, perlunya jalan tengah di antara kedua pilihan ekstrem tersebut. “Di Indonesia kiranya agama lebih ditantang untuk belajar menjadi lebih berbudaya dan tidak menyepelekan kemanusiaan,” katanya. Ia mengakhiri pidatonya dengan sebuah sajak dari sastrawan Joko Pinurbo, yang mengkritik orang yang mengaku sangat taat beragama, namun menjadi pelaku kekerasan dan tidak peduli dengan sesama. Mgr Sunarko merupakan profesor kesebelas di STF Driyarkara, sekolah yang tahun ini merayakan 50 tahun dan tempat ia mengajar teologi dogmatik sejak 2002-2017, sebelum ia ditunjuk sebagai uskup oleh Paus Fransiskus. Kini ia masih berstatus sebagai dosen di kampus tersebut, namun tidak memiliki jadwal tetap untuk mengajar. Mgr Sunarko telah menghasilkan 63 artikel ilmiah yang terbit di jurnal di dalam negeri maupun luar negeri. Ia juga terlibat dalam penulisan 10 buku, sebagai pengarang, editor dan penerjemah. Salah satu buku yang ditulisnya bersama dengan Paul Budi Kleden – kini superior jenderal SVD- adalah “Dialektika Sekularisasi” yang menanggapi pemikiran teolog Josep Ratzinger (Paus Benediktus XVI) dan filsuf Jerman, Jurgen Habermas. Pastor Andreas Atawolo OFM, dosen di Driyarkara dan mantan murid Mgr Sunarko mengatakan, gelar guru besar merupakan sesuatu yang layak bagi sesama saudara dinanya itu. “Ia telah menunjukkan karier dalam bidang teologi dengan tekun mengajar, menulis dan mengabdikan diri bagi Gereja dan bangsa,” katanya. Ia menambahkan, Uskup Sunarko merupakan teolog yang cerdas dan berwawasan luas, yang mengembangkan sebuah teologi dengan paradigma keterbukaan berdialog dengan Ilmu-ilmu lain yang relevan, terutama filsafat. “Hal itu tampak dalam tulisan-tulisannya, termasuk dalam pidato ilmiah pada pengukuhannya,” kata Pastor Andre, yang kini mengampu sejumlah mata kuliah yang sebelumnya ditangani Mgr Sunarko. Mgr Sunarko belajar teologi di Universitas Albert-Ludwig, Freiburg, Jerman pada 1996 dan meraih gelar doktor. Ia sedang menjabat sebagai pimpinan para Fransiskan se-Indonesia untuk periode kedua saat ditunjuk menjadi uskup. Ia lahir di Merauke, Papua pada 7 Desember 1966 dan mengenyam pendidikan seminari menengah di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Kakak dari Mgr Sunarko adalah juga seorang imam, yakni Romo Laurentius Sutadi, kini menjadi Vikaris Jenderal di Keuskupan Ketapang.

Postingan populer dari blog ini

HASIL KEJUARAAN PESPARANI UMAT KATOLIK INDONESIA, AMBON 27 OKTOBER 2018

Sekeras Tangan Lembut Mama