AKSI HEROIK JONI GAMA MARCHAL LAU vs PENDIDIKAN KARAKTER
Johanis Gama Marchal Lau alias (Joni) "Sang pahlawan HUT ke 73 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2018. Ia berani bertindak menyelamatkan ketika terjadi hal-hal genting dan penting. Momentum heroik dan teladan patriotisme bersejarah yang mengubah cara anak negeri ini untuk berani dan cepat berkreasi melakukan tindakan".
Hal yang berbeda dengan perilaku sosial kalangan muda dewasa ini. Melky Kiong praktisi pendidikan keluarga dalam dalam diskusi "Membangun Budaya dan Nilai Keindonesiaan demi Masa Depan Bangsa" dan Penanaman Nilai Keindonesiaan", yang digelar Yayasan Suluh Nusantara Bhakti (YSNB). Bahwa tumbuh kembangnya karakter berdasarkan dinamika dan
perubahan sosial yang berlangsung di Indonesia. Ternyata terkesan cenderung mengarah pada perubahan sosial yang tidak baik. Hal ini karena pada saat ini terjadi ketegangan antar generasi, yang menyebabkan terjadinya kerancuan nilai –anime; yaitu tidak jelasnya lagi ukuran etis tentang yang baik dan yang buruk. Sebagai akibatnya, semakin meningkat kenakalan remaja, meluasnya perilaku menyimpang (deviant behavior) dan kriminalitas dalam berbagai bentuk di Indonesia.
Menurut Melly Kiong, perubahan sosial dapat dimulai dari keluarga. Sebab dari keluargalah pembentukan karakter anak dimulai terutama dalam lingkungan rumah, lingkungan sekitar serta orang-orang yang selalu bersama dengan anak-anak. Oleh karenanya, menurut Melly; orang tua memiliki peran sangat besar dalam mengasuh anak-anaknya agar bertumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul. Karena itu jika terjadi perubahan sosial yang mengarah pada hal-hal yang buruk, maka kesalahan fatal pertama yaitu dari orang tua yang sering lalai memberikan pendidikan pengasuhan yang benar.
“Perlu ada pendidikan anak bagi orang tua, khususnya bagi ibu-ibu yang ada di rumah maupun yang ada di ranah publik. Sebab keluarga merupakan agent of change utamanya.
Jika disimak dari aksi heroik seorang bocah cilik Yahanes Adekalle, siswa SMPN Silimansa Tasifeto Timur Kab. Belu di puncak upacara apel memperingati HUT ke 73 Kemerdekaan RI Jumat, 17/8/2018 merupakan perilaku spontanitas yang telah tertanam dengan baik di lingkungan keluarganya. Tanpa diperintah kerelaan dan keberaniannya memanjat tiang bendera adalah penanaman nilai dan karakter menyata sebagai anak bangsa yang tahu tentang pentingnya membela harkat dan martabat bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Oleh karena itu pendidikan anak bagi orang tua harus digalakkan oleh pemerintah di Indonesia,” kata Melly Kiong. Sementara itu menurut Teriska Rahardjo, pendidikan merupakan kunci utama guna menumbuh-kembangkan karakter anak bangsa menjadi lebih baik, sehingga ketegangan antar generasi dan kerancuan nilai, menjadi tidak ada. Namun pendidikan tersebut, harus dilakukan secara terus menerus agar cepat terinternalisasi, sehingga memerlukan konsistensi peran pemerintah dalam melaksanakannya. “Keberhasilan pelaksanaan internalisasi pendidikan karakter dan nilai-nilai kebangsaan melalui sistem pendidikan di Indonesia akan tergantung kepada masyarakat pemakai output sekolah formal, non formal maupun informal, khususnya juga tergantung kepada konsistensi pemerintah dalam menggunakan, mensosialisasikan dan konsisten merubah kurikulum berbasis perubahan jaman dengan proses belajarnya secara holistic”, kata Teriska Raharjo Hal yang sama, Taufik Bahaudin mengatakan jika Indonesia pada saat ini perlu membangun shared-meaning dan shared-vision yaitu kesepakatan kesamaan nilai-nilai sebelum melakukan perubahan. Dan hanya leader yang mampu melakukan perubahan apalagi transformasi, sebab kualitas perubahan ditentukan oleh kualitas leadership. “Karena itu kini diperlukan need, komitmen spiritual, kerja keras, konsisten, persisten, dan kegigihan dari masyarakat untuk mencari leader yang memiliki kualitas leadership”, kata Taufik Bahaudin. Agar perubahan sosial juga mengadopsi adanya kemajemukan kultural masyarakat Indonesia.
Sementara itu Dorothy Law Nothe dalam bukunya Children Learn What They Live (Workman Publishing, 2002) menekakan tentang perkembangan anak diperoleh dari apa yang dilihat dialami dan dijalani pada lingkunganya. Beliau menulis, "jika anak dibesarkan dengan celaan ia belajar untuk memaki, jika anak dibesarkan dengan permusuhan ia belajar untuk berkelahi, jika anak dibesarkan dengan cemoohan ia belajar untuk rendah diri, jika anak dibesarkan dengan penghinaan ia belajar untuk menyesali diri, jika anak dibesarkan dengan toleransi ia belajar untuk menahan diri, jika anak dibesarkan dengan pujian ia belajar untuk menghargai, jika anak dibesarkan sebaik-baik perlakuan ia belajar tentang keadilan, jika anak dibesarkan dengan rasa aman ia belajar menaruh kepercayaan, jika anak dibesarkan dengan dukungan ia belajar menyenangi diri, jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan perhatian ia belajar tentang cinta dalam kehidupannya. Dengan menyimak ukuran kualitas pendidikan anak bangsa selama ini ternyata titik bidiknya terletak pada perolehan angka-angka. Tetapi sesungguhnya itu hanyalah salah satu aspek penilaian kognitif dan tidak mengedepankan afektif dan psikomotorik. Dalam pelbagai situasi konkrit kehidupan berbangsa dan bernegara karakter sebagai pilar utama persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI sangat penting.
Di Indonesia negara Pancasila sering terjadi konflik sosial terutama di kalangan generasi muda. Konflik intoleransi, tawuran antar pelajar, aksi kriminalitas, dan kenakalan remaja memperkeruh suasana persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tataran ini tugas semua elemen bangsa untuk berbenah diri menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian utuh perekat dan pemersatu bangsa. Pendidikan karakter harus terus dilakukan untuk membangun kekuatan dan peradaban bangsa yang berdasarkan Pancasila. Dengan demikian tepat bila PP Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang wajib ditindaklanjuti dalam pembiasaan pengajaran di sekolah-sekolah dibutuhkan dan terus dibiasakan dalam pembelajaran. Sudah saatnya kita belajar dari aksi heroik seorang pelajar cilik Yohanes Adekalle. Beliau pahlawan HUT Kemerdekaan RI ke 73 Tahun 2018.
Hal yang berbeda dengan perilaku sosial kalangan muda dewasa ini. Melky Kiong praktisi pendidikan keluarga dalam dalam diskusi "Membangun Budaya dan Nilai Keindonesiaan demi Masa Depan Bangsa" dan Penanaman Nilai Keindonesiaan", yang digelar Yayasan Suluh Nusantara Bhakti (YSNB). Bahwa tumbuh kembangnya karakter berdasarkan dinamika dan
perubahan sosial yang berlangsung di Indonesia. Ternyata terkesan cenderung mengarah pada perubahan sosial yang tidak baik. Hal ini karena pada saat ini terjadi ketegangan antar generasi, yang menyebabkan terjadinya kerancuan nilai –anime; yaitu tidak jelasnya lagi ukuran etis tentang yang baik dan yang buruk. Sebagai akibatnya, semakin meningkat kenakalan remaja, meluasnya perilaku menyimpang (deviant behavior) dan kriminalitas dalam berbagai bentuk di Indonesia.
Menurut Melly Kiong, perubahan sosial dapat dimulai dari keluarga. Sebab dari keluargalah pembentukan karakter anak dimulai terutama dalam lingkungan rumah, lingkungan sekitar serta orang-orang yang selalu bersama dengan anak-anak. Oleh karenanya, menurut Melly; orang tua memiliki peran sangat besar dalam mengasuh anak-anaknya agar bertumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul. Karena itu jika terjadi perubahan sosial yang mengarah pada hal-hal yang buruk, maka kesalahan fatal pertama yaitu dari orang tua yang sering lalai memberikan pendidikan pengasuhan yang benar.
“Perlu ada pendidikan anak bagi orang tua, khususnya bagi ibu-ibu yang ada di rumah maupun yang ada di ranah publik. Sebab keluarga merupakan agent of change utamanya.
Jika disimak dari aksi heroik seorang bocah cilik Yahanes Adekalle, siswa SMPN Silimansa Tasifeto Timur Kab. Belu di puncak upacara apel memperingati HUT ke 73 Kemerdekaan RI Jumat, 17/8/2018 merupakan perilaku spontanitas yang telah tertanam dengan baik di lingkungan keluarganya. Tanpa diperintah kerelaan dan keberaniannya memanjat tiang bendera adalah penanaman nilai dan karakter menyata sebagai anak bangsa yang tahu tentang pentingnya membela harkat dan martabat bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Oleh karena itu pendidikan anak bagi orang tua harus digalakkan oleh pemerintah di Indonesia,” kata Melly Kiong. Sementara itu menurut Teriska Rahardjo, pendidikan merupakan kunci utama guna menumbuh-kembangkan karakter anak bangsa menjadi lebih baik, sehingga ketegangan antar generasi dan kerancuan nilai, menjadi tidak ada. Namun pendidikan tersebut, harus dilakukan secara terus menerus agar cepat terinternalisasi, sehingga memerlukan konsistensi peran pemerintah dalam melaksanakannya. “Keberhasilan pelaksanaan internalisasi pendidikan karakter dan nilai-nilai kebangsaan melalui sistem pendidikan di Indonesia akan tergantung kepada masyarakat pemakai output sekolah formal, non formal maupun informal, khususnya juga tergantung kepada konsistensi pemerintah dalam menggunakan, mensosialisasikan dan konsisten merubah kurikulum berbasis perubahan jaman dengan proses belajarnya secara holistic”, kata Teriska Raharjo Hal yang sama, Taufik Bahaudin mengatakan jika Indonesia pada saat ini perlu membangun shared-meaning dan shared-vision yaitu kesepakatan kesamaan nilai-nilai sebelum melakukan perubahan. Dan hanya leader yang mampu melakukan perubahan apalagi transformasi, sebab kualitas perubahan ditentukan oleh kualitas leadership. “Karena itu kini diperlukan need, komitmen spiritual, kerja keras, konsisten, persisten, dan kegigihan dari masyarakat untuk mencari leader yang memiliki kualitas leadership”, kata Taufik Bahaudin. Agar perubahan sosial juga mengadopsi adanya kemajemukan kultural masyarakat Indonesia.
Sementara itu Dorothy Law Nothe dalam bukunya Children Learn What They Live (Workman Publishing, 2002) menekakan tentang perkembangan anak diperoleh dari apa yang dilihat dialami dan dijalani pada lingkunganya. Beliau menulis, "jika anak dibesarkan dengan celaan ia belajar untuk memaki, jika anak dibesarkan dengan permusuhan ia belajar untuk berkelahi, jika anak dibesarkan dengan cemoohan ia belajar untuk rendah diri, jika anak dibesarkan dengan penghinaan ia belajar untuk menyesali diri, jika anak dibesarkan dengan toleransi ia belajar untuk menahan diri, jika anak dibesarkan dengan pujian ia belajar untuk menghargai, jika anak dibesarkan sebaik-baik perlakuan ia belajar tentang keadilan, jika anak dibesarkan dengan rasa aman ia belajar menaruh kepercayaan, jika anak dibesarkan dengan dukungan ia belajar menyenangi diri, jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan perhatian ia belajar tentang cinta dalam kehidupannya. Dengan menyimak ukuran kualitas pendidikan anak bangsa selama ini ternyata titik bidiknya terletak pada perolehan angka-angka. Tetapi sesungguhnya itu hanyalah salah satu aspek penilaian kognitif dan tidak mengedepankan afektif dan psikomotorik. Dalam pelbagai situasi konkrit kehidupan berbangsa dan bernegara karakter sebagai pilar utama persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI sangat penting.
Di Indonesia negara Pancasila sering terjadi konflik sosial terutama di kalangan generasi muda. Konflik intoleransi, tawuran antar pelajar, aksi kriminalitas, dan kenakalan remaja memperkeruh suasana persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tataran ini tugas semua elemen bangsa untuk berbenah diri menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian utuh perekat dan pemersatu bangsa. Pendidikan karakter harus terus dilakukan untuk membangun kekuatan dan peradaban bangsa yang berdasarkan Pancasila. Dengan demikian tepat bila PP Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang wajib ditindaklanjuti dalam pembiasaan pengajaran di sekolah-sekolah dibutuhkan dan terus dibiasakan dalam pembelajaran. Sudah saatnya kita belajar dari aksi heroik seorang pelajar cilik Yohanes Adekalle. Beliau pahlawan HUT Kemerdekaan RI ke 73 Tahun 2018.
*517*