MENANTI MATAHARI DARI TIMUR
Lelaki setengah baya itu sedang duduk sendirian. Ia cuma berteman dengan segelas teh. Ditambah lagi dengan pikirannya jadilah bertiga. Matanya nanar memandang dari halaman belakang menghadap ke pantai. Tampak laut biru membentang dengan ombak yang bergulung-gulung menyepuh membusa pantai. Di kiri kanan terlihat jalan bagai ular meliuk padang ilalang. Sepanjang jalan itu satu dua pohon akasia menghiasi bukit-bukit berbaris rapi. Langit merah jingga, pertanda sesaat lagi hari telah mulai malam. Keremanganpun merebak, nyala lampu-lampu perahu nelayan menambah kerlap kerlip malam. Kampung yang sering sepi. Bila di rumah tidak ada lampu listrik. Cuma di rumah kepala desa, guru, dan pedagang yang menyalakan lampu listrik dari generator milik mereka. Ada juga keluarga lain yang kebetulan anak atau keluarganya di tanah rantau. Sementara di rumah lainnya memakai kaleng susu yang diisi minyak tanah diresap dengan benang yang digulung seng plat disulut menjadi pelita. Tetapi bagi lelaki itu yang bernama Jorde yang biasa disapa Jode karena orang-orang di sekitarnya sering fasih memanggilnya dengan dialek daerahnya. Jode pernah merantau kemudian kembali ketika ayahnya meninggal dunia. Dari rantau, dioleh-olehinya dirinya sendiri dan Ibunya sepuluh jerigen obat racun (rundup). Ini dibawa untuk menyemprot rumput teki juga ilalang yang tumbuh. Telah beberapa bulan lalu Jode lakukan penyemprotan untuk membuka lahan buat ladangnya. Kini tumbuh tanaman jagung, tidak perlu banyak bekerja. Cukup ketika bunga pecah dan bulir jagung besar Jorde jaga jangan sampai dirusakkan oleh babi hutan. Sementara bila di pagi atau siang hari berasa sunyi. Tak ada suara selain kesiur angin. Burung pipit datang cukup hinggap sesaat di dedaunan jagung juga ubi kayu yang ditanam selang seling. Jode sebagai seorang petani, membuatnya menjadi penyabar; menanam lalu menunggu musim panen tiba. Dia berpikir bahwa kadang orang melihat pekerjaan petani itu tidak mentereng. Tetapi dipikir-pikir justru dari petanilah nasi bisa dihidangkan di piring jadi makanan pokok siapapun. Dulu, lagu tentang petani dia pelajari dari gurunya. Guru tua yang sangat baik mendidik, mengajar, membimbingnya dalam soal membaca, menulis, berhitung serta tahu membedakan musim hujan dan kemarau, sesuatu yang berguna baginya kini. Lalu gurukah yang paling baik? Atau pastor yang mengajarkannya beriman kepada Kristus Tuhan? Di hatinya bergejolak antara mana pekerjaan yang lebih berharga. Terus petani telah mengajarkannya tentang kesabaran, kesetiaan menunggu dan kerja keras. Jode tenggelam dengan alur pikirannya. Sementara dalam remang itu angin menyapa dengan lembut sepoi. Terdengar suara merdu burung hantu. Di balik bukit cahaya bulan telah menyeruak. Kitaran waktu siang malam berganti. Saat matahari pergi datang bulanpun berganti. Jeda waktu yang alami tanpa ada yang perintah. Siang yang mengalir ketika matahari tenggelam di barat, mungkin berputar di bawah tanah lalu terbit di sebelah timur esok paginya. Terus malampun datang, bulan yang rupanya menyinari tempat di bawah tanah yang mengalami malam dan benderang lag. Sementara itu di pagi siang dan petang burung pipit selalu berkicau sesukanya, juga bila malam tiba giliran burung hantu memerdukan suaranya. Jode mempermainkan pikiran sederhananya, iapun kaget dari lamunannya itu. Membayangkan makna kehidupan beriring roda waktu. Waktu antara matahari melanglang jauh ke barat dan bulan sering bersinar di malam hari agar manusia boleh hidup menghitung usianya dari kecil hingga tua. Sekarang saya boleh beranjak tua dan tidak tinggal di masa kanak-kanak tempatku senang bermain. Dikenangnya masa itu. Tak ada tugas lain selain bersuka ria. Jika ada pesta di kampung mereka, mamanya selalu membantu masak. Sepulang sekolah Jode kecil tetap merapat ke dapur pesta. Dicari-carinya perhatian agar mama melihatnya. Lalu diberi makan terus ia pergi bermain di sekitar lagi. Jode suka bernyanyi sampai mamanya melongok dan memintanya bermain di tempat jauh. Saat itu Jode mengatakan tujuannya: “Ma... daging!” Mamanya marah karena malu. Tetapi suara Jode yang kencang didengar pula oleh ibu-ibu yang lain. Didapatnyalah daging. Dibawa pulang untuk lauk makan siangnya. Anak-anak tak diundang pesta, mimpi makan daging harus diwujudkan sebelum malam saat pesta resmi digelar. Jode kecil tak pernah punya pesta sendiri. Tetapi menjadi bahagia ketika itu bukan tentang siapa pemilik pesta. Yang digelar siapa pun adalah pesta bersama. Tak ada anak yang peduli siapa si tuan pesta. Pesta adalah kesempatan makan daging. Mungkin pesta adalah hal paling berkesan di muka bumi ini. Tempat bertemu kenalan dan keluarga. Tetapi rupanya Jode tidak sepakat. Pesta di kampung itu boros. Banyak hewan disembeli. Padahal jika kita hemat maka dari hewan saja bisa diuangkan untuk menabung. Jode menyadariya. Kepalanya lantas menggeleng. Pernah disaksikannya pesta berujung ricuh. Orang-orang terlampau gembira minum tuak atau arak sampai mabuk lalu berkelahi. Ternyata di dalam hajatan terbaikpun selalu diselipkan hal buruk dan membuat orang babak belur. Jode tersenyum sinis. Mengerutkan keningnya. Di saat ia lama duduk menyendiri dibayangkan mengenai dinamika kehidupan. Hidup ibarat roda berputar, sering di atas juga tertindih di bawah. Susah senang silih berganti. Begitulah adanya. Menjalani semuanya musti dengan suka. Ia mengangkat muka. Memandang di keheningan. Bukit yang dilihatnya senja tadi, birunya laut, rumpun jagung, padang ilalang menghitam oleh malam. Seingatnya tempo dulu di masa kecil, malam adalah hal terindah. Tidur kala itu adalah yang terbaik dari semua tidur yang pernah ada. Bersama teman-teman sekolah sering tidur di huma tempat ayah ibu mereka berladang. Waktu malam mereka bersuka ria sambil bakar ubi kayu dengan lauk kepiting bakau. Sesudah perut kenyang tidur bersama di dipan terbuat dari pelepah lontar. Setelah itu ketika pagi tiba mereka berombongan ke sekolah. Tidak cukup air untuk mandi tetapi hanya dengan basah badan di embun pagi di rerimputan. Jika di sekolah guru periksa kebersihan tentu ketahuan mana yang bersih mana yang tidak. Jode ingat ketika terlelap dipeluk ibu sembari menikmati dengkur ayah. Seperti lagu rutin pengantar tidur. Pagi-pagi saat membuka mata ibu dan ayah sudah pergi ke kebun. Bentuk kemandirin. Rela ditinggalkan agar seorang anak tumbuh menjadi dewasa,” katanya pada diri sendiri. Dia berpikir hal itu ada baiknya. Ia teringat lagi. Dulu bermain dengan anak-anak di bawah hujan sekalian bermain bola sepak di padang rumput. Semua berlari bertelanjang dada dan kaki sesukanya. Kalau mau main bola cukup kelompok anak-anak saling membagi. Gawangnya cukup dibutuhkan dua batu kiri kanan. Terus tidak perlu butuh wasit. Masing-masing sudah tahu kapan pelanggaran dan kapan kalah atau menang. Bila salah satu tim kalah ya buka baju. Telanjang dada di tengah derasnya hujan menambah semangat pertandingan. Setelah berlaga hingga hari telah remang. Kadang orang tua dari anak-anak datang mencari. Di tangan orang tua memegang kayu sekelas lamatoro. Bila datang langsung cambuk. Semuanya bubar buyar pergi. Seiring jalannya waktu anak-anak kampung beranjak remaja lalu dewasa dan masa kanak-kanak menjadi sendiri di tempatnya. Jode membayangkan kala kecil menyukai gerimis dan berlama-lama tinggal di bawahnya pada masa kanak-kanak sampai hujan datang dengan deras. Bermakna ternyata gerimis mampu menghilangkan letih penat. Para petani bersyukur hanya pada hujan. Tak ada yang mengenang gerimis, sebagian bahkan menyesalkan hadirnya terlampau lama sebelum hujan yang dinanti unjuk diri. Tetapi gerimis itu manis. Mengecup tubuh lembut-lembut. Mungkinkah gerimis adalah hal terbaik? Pikiran Jode berjalan lagi. Diikutinya dengan sabar sebagai beradat juga petani menanti musim petik. Bila mulai musim hujan dan para petani menyiapkan ladangnya. Sebelumnya dibuat seremoni minta hujan. Ini tugas yang wajib dijalani oleh keiasaan adat di kampung. Lama Jode melamun tiba-tiba ia terkejut. Ayo sedang melamun apa ya? Mari makan malam dulu. Mama sudah siap,” panggil Ibunya. Jode mengikuti akakan mama. Duduk di dipan tua berhadapan dengan kakak adik lainnya. Hanya ayah tak ada. “Tadi pikir apa?” Ibunya memulai percakapan. Hening. “Jode!” “Iya?” “Apa yang dipikirkan?” “Menurut mama yang berharga dalam hidup ini apa yach? Ibunya tertawa panjang. Selalu tahu bahwa Jode akan hadir dengan percakapan yang aneh. Jode senang melihat Ibunya tertawa. Sejak kematian Ayah, mamanya sedih. Tidak biasa Jode mendengar tawa renyah dari perempuan yang kesayangannya. Jodepun ikut tertawa. Di ujung tawa, mamanya ganti bertanya. “Terus, menurut kamu apa yang paling baik di muka bumi ini?” Hening. Dipandanginya wajah perempuan itu. Perempuan yang pernah berjuang di batas garis hidup dan mati untuknya. Memberinya kesempatan mengenal dunia. Masa kanak-kanak. Susah senang sama berasa “Kuah ini enak sekali, Mama,” katanya. Cahaya pelita meredup. Hampir habis minyaknya. Ayo tidurlah. Besok harus bangun pagi. Biar menanti saat matahari terbit dari timur kembali selalu ada semangat baru. Mendengar kicau burung pipit, deru angin, debur ombak, senyuman, canda tawa sesuka hati.