Sekeras Tangan Lembut Mama



Mengurai waktu di bentang hari tak menentu. Teringat kisah bahwa dunia ini hidup hanyalah sementara. Benar tiada keabadian yang diimpi. Seperti dalam waktu ada siang juga malam.  Ada waktu lahir adapula waktu mati. Ada waktu susah adapula waktu senang. Seiring perjalanan sebuah keluarga ketika datang suka gelak tawapun memburu.  "Nak, hidup ini hanya soal waktu. Karenanya apa yang kita alami itu hanya menunggu bilamana waktu yang tepat bagi kita untuk mengalaminya ketika telah lahir maka akan datang pula kematian. Jadi jalani dengan baik selama masih diberi waktu. Makanya gunakan waktu dalam hidupmu dengan baik. Jika telah tahu mana yang buruk dan mana yang baik, tentukan sikapmu. Sekali melakukan akan mampu memberi jalan ke mana arah hidupmu. Kata-kata itu keluar dari mulut seorang ibu. Matanya nanar memandang sekeliling.  Satu persatu menatap kelima wajah anaknya. Mereka semua duduk melingkar di sebuah meja tua peninggalan ayahnya. Makan malam dengan menu sederhana. Nasi, sayuran dan lauk siput kering hasil pencarian mama waktu musim berkarang. Ibu Hany menggunakan kesempatan makan bersama dan selalu nasihat ini diberitahukannya kepada anak-anaknya. "Ma..., saya melihat teman-temanku banyak yang begitu ceria bila sedang bersama ayah mereka. Tapi kenapa ayah sekarang tidak pernah kulihat dengan mata kepala sendiri? Tanya Evlin si bungsu di sela-sela makan bersama. Bu Hany tertegun. Ia sempat diam sambil lama menatap wajah Evlin. Kali ini tatapanya terawang, kosong dan hampa. Ia tak pernah menyangka Evlin bertanya begitu. Lama mereka terdiam. Rasa sedih menyayat. Ibu Hany berusaha bertahan. Tak ingin anak-anak melihatnya muram,  apalagi menangis. Namun begitu betapapun ia berusaha tetapi akhirnya terjadi. Dua butiran bening mengalir perlahan dari cekungan kedua matanya. Hatinya luluh karena teringat kepergian suami, ayah dari kelima anak kekasih hati. "Mama koq nangis yachh...? Tanya Sandy anak sulung memecah keheningan. Ah, tidak nak.. tidak apa-apa koq. Mama cuma keselek. Ibu Hany coba menenangkan suasana sambil mengusap air matanya. Dalam hati Ibu Hany mengerti bahwa hidup ini tak mudah terucap lewat kata-kata. Apa yang pernah diimpikan sering tak seperti kenyataan. Dulu pertama menjalin kehidupan rumah tangga sejak Sandy dan keempat adiknya lahir hampir semua persoalan keluarga diselesaikan berdua ayah mereka. Tetapi kini hal tersebut harus kembali dari titik nol. Peran sebagai ibu dan ganti ayah dijalaninya dengan setia. Mulai dari kebutuhan pokok makan, minum, pakaian, dan menata rumah tempat tinggal mereka. Betapa sebuah kisah perjuangan peran ibu yang menggantikan peran ayah.
Hari demi hari dilewatinya. Banyak hal yang terjadi pada keluarga Bu Sandy. Mulai dari pagi buta beliau harus bangun sebelum anak-anaknya bangun. Sandy anak pertama bertambah besar. Ia tergolong anak yang rajin, baik, dan suka membantu ibunya. Kebiasaan yang baik akan menghasilkan orang yang pasti baik pula. Sandy menyadari bahwa ia sebagai anak terbesar dari adik-adiknya. Tentunya harus bangun lebih pagi, tugas-tugas di rumahpun dibagi dengan baik. Ia selalu memperhatikan dan memberitahu mereka akan hal-hal baik. Supaya bisa membantu mama Sandy disiplin bangun jam 5.30 selanjutnya cepat-cepat diambilnya piring gelas untuk segera dicuci. Bila adik-adiknya terlambat bangun dipanggilnya. "Ayo bangun, hari sudah mulai pagi." Adik-adiknyapun menuruti. Mereka saling menhormati dan menghargai. Begitupun siang setelah pulang sekolah dan malam hari. Selalu hal yang sama dilakukan.  Bila sudah berada di rumah suasana begitu penuh keceriaan. Seharian terus semalaman berganti sesukanya. 
Kadang adik-adiknya duluan tertidur. Sandy masih belajar. Lalu ibunya juga tertidur. Ia memang sangat lelah, gumam Sandy dalam hati. Ketika malam makin larut dan Sandy masih duduk menyelesaikan pekerjaan rumah. Dipandangi wajah ibu yang terbaring dekat meja belajarnya. Wajah perempuan itu setengah tua. Di raut wajahnya tergambar mimpi-mimpi yang selalu ditunjukkan kepada mereka setiap hari. Nak, keluarga kita orang susah. Karenanya ingat baik-baik pesan mama, "Jangan pernah putus sekolah. Hanya orang yang mengenyam pendidikan mampu mengubah pola dan cara hidupnya. Dari yang susah dengan memperoleh pendidikan yang memadai maka semua yang dibutuhkan akan diperoleh. Jadi harta paling berharga itu sekolah Nak..." Sebuah pola pendidikan keluarga yang berharga. Ibu justru menjadi model pengubah dengan selalu menjadikan dirinya kekuatan terbesar bagi Sandy dan adik-adiknya. Mama, Sandy mau berjanji untuk menunjukkan yang terbaik. Sandy tak mau asal janji tetapi dengan bantuan Tuhan semoga bisa menjadi nyata.


Postingan populer dari blog ini

HASIL KEJUARAAN PESPARANI UMAT KATOLIK INDONESIA, AMBON 27 OKTOBER 2018