KEMILIAU MATAHARI DARI TANAH MARAPU
Jam dinding berdetak di kamar menunjukkan pukul 23.00 malam. Rupanya malam ini lelah menjumput di tengah kesibukan harian, tetapi Ivan belum juga tidur. Iy masih sibuk menulis beberapa peristiwa hari itu dalam buku diarynya. Tadi sore jam 4 Ivanï baru tiba di bandara El Tari dari Nusa Biru sebutan untuk Pulau Lembata. Beberapa hari ini ia bertugas di kota karang julukan Kupang tempo dulu yang sekarang berubah dengan sebutan kota Kasih. Teringat waktu masih kuliah di sini. Ivan merasakan kota ini sungguh berbeda oleh perubahan dan perkembangannya. Seingat di pikirannya waktu pergi ke kampus selalu berjalan kaki. Mulai dari keluar kos menyusur jalan tikus di belakang SD Bertingkat Oebobo lewat belakang kantor gubernur terus ke Rimba Kapok dan masuk ke jalan utama arah dari pasar Naikoten ke Oepura.
Masa kuliah dulu memang susah.
Pagi itu Ivan tampak terburu-buru masuk kampus. Rupanya ia harus berusaha bertemu dengan dosen pembimbingnya. Soalnya Pak Narto dosen yang sedang membimbing skripsinya besok sudah berangkat ke Jakarta. Hari itu untuk yang terakhir Ivan harus bisa menyelesaikan tulisannya di Bab terakhir yang diberi catatan oleh Pak Darto. Dalam situasi sedang terburu-buru ia melewati kerumunan mahasiswa FKIP Undana. Tanpa disadarinya seorang wanita yang berdiri di antara kerumunan teman-teman mahasiswa lain ditabraknya. Wanita berambut sebahu warna kulitnya sawo matang, mata sipit dan agak lesung di pipi. Wanita itu nyaris terjatuh. Ivan tak menghiraukannya. Ia fokus mengejar dosennya. Jangan sampai ia tak bisa bertemu. Beberapa orang yang melihat kejadian itu sempat marah. Apalagi wanita itu. Lebih marah dengan kejadian yang dibuat Ivan. Tetapi Ivan sudah hilang ke dalam ruang dosen. "Dik... kami tetap tunggu di depan pintu. Itu lelaki rupanya tidak beretika. Asal tahu saja, setiap orang yang berbuat kasar pada saudari kami itu resikonya tetap diterima. Kata Ama, lelaki Lambanapu dari Sumba. Rupanya hari itu nasib sial buat Ivan. Setelah bertemu dengan dosennya iapun bergegas keluar. Pas berada di pintu keluar, langsung satu kiu Ama tepat mendarat di bibirnya. Wahh, kenapa lagi ni...!! Tanya Ivan. Terus dia melirik ke samping kiri lelaki tegar yang mendampratnya. Owhhh, jangan tanya lai saudara. Emangnya tadi masuk sadar tidak kau menabrak Lidya? Ini Rambu dari tanah Merapu. Jangan sembarang pada perempuan Sumba. Ivan tertunduk. Ia merasa perih di bibirnya. Sepertinya terluka. Benar darah menetes basahi kameja putihnya. Kawan, saya minta maaf. Tadi saya terburu-buru kejar dosen pembimbing yang mau keluar. Weeee lah, alasan melulu. Kata Ama dengan logat kambera kental menyela. Ya sudah Kak, maafkan saja. Dia juga tidak salah koq, kata perempuan di sampingnya sambil maju dan dengan tisyu melap bibirnya. Terima kasih sudah perhatian, tetapi jujur tadi saya tidak sengaja. Melihat itu Ama marah-marah, sambil menarik tangan Lidya berlalu dan segera pergi. Ivanpun pergi dengan perasaan bersalah dan kecewa.
Ivan tidak pernah berpikir masalah itu lagi.
Malam di kos Ivan teringat peristiwa tadi. Ia ingin menulis kisah itu dalam suara jiwanya.
Gadis Marapu Maafkan Aku
Tergerus hari tak pasti
Mengejar cita tertunda
Tak pernah aku sengaja
Menyentuhmu terjatuh
Datanglah amarah
Lalu bibir pecah berdarah
Kau sodorkan tangan
Tertitip manis senyuman
Raih aku dalam kecewa
Begitu lembutnya sutera hatimu
Cairkan deru dendam
Karenamu aku tulus memaafkan
Benar juga. Yang ada dalam benak Ivan memaafkan bila telah salah. Ia berpikir tidak ada gunanya bila membenci. Hal yang utama ialah bagaimana ia harus mencapai cita-citanya di bangku kuliah. Ia harus pulang ke lewo tanah Lembata dengan menyandang predikat guru yang berkompetensi. Setiap kegiatan perkuliahan di FKIP Bahasa Indonesia diikutinya dengan baik. Yach, menurutnya prestasi itu boleh diperoleh hanya dengan rajin belajar dan berlatih. Kalau bukan dengan cara ini bisa saja gagal dan bahkan drop out. Ini yang selalu mendorongnya mengutamakan kuliah bukan hal yang lain. Ia ingat betul pesan ibundanya. "Nak, utamakan dahulu masa depanmu. Raihlah bila itu kesempatanmu, karena masa depan berharga untuk menghidupi diri dan keluarga. Jaga jangan sampai terperosok dalam pergaulan bebas. Sekali salah, akan menghancurkan segala harapan dan cita-cita hidupmu. Jika sering terjadi godaan kendalikan diri dengan bersikap baik dan utamakan aktifitas yang positip demi menambah kemampuan dirimu. Banyak pengalaman terjadi. Mahasiswa yang datang dari tempat yang jauh terpaksa pulang kampung, hamil di luar pernikahan karena pergaulan bebas itu. Pesan ibundaya itu selalu menjadi nyanyian jiwanya. Karena itu di setiap aktifitas kampus Ivan sangat sibuk.
Suatu kesempatan Ivan dipercayakan menjadi panelis diskusi di fakultasnya. Saat itu tanpa disengaja Lidya ikut sebagai peserta. Pendeknya diskusi cukup alot tetapi mampu diselesaikan dengan baik oleh Ivan dan beberapa panelis lainnya. Seusai panel para mahasiswa berhamburan keluar aula FKIP. Tiba-tiba datanglah seseorang gadis menuju kepadanya. Lama Ivan menatapnya. Sambil menyodorkan tangan gadis berambut sebahu itu menyampaikan "Saya Lidya." Saya minta maaf dengan kejadian sebulan yang lalu. Ivan terdiam sejenak. Dipandangnya gadis itu dan baru dia menyadari bahwa gadis yang berada di depannya itu yang membuat bibirnya pecah berdarah. Owhh iy benar. Saya baru ingat. Tetapi itu sudah saya lupakan koq. Saya memaafkanmu. Terima kasih ya kak, balas Lidya. Terus sekarang kak mau ke mana? Tidak perlu tanya ke mana aku pergi. Itu urusan sendiri. Ivan menjwab datar. Lidya tertunduk sambil mempermainkan tisyu dengan jemarinya. Okelah kak, kalau begitu saya pergi dulu ya? Terima kasih. Hati-hati...!! Ivan sengaja melihatnya. Angin membelai rambutnya. Sesekali dipandangnya wajah gadis itu. Semburat sinar matanya bagai matahari. Ivan menjawab sambil merapikan beberapa kertas kerja dan menyimpan di tasnya lalu pergi.
Sepulang dari kampus seperti biasa pada sore hari Ivan ke Pasir Panjang. Rutinitas seusai kuliahnya yaitu menyetor uang pada nelayan biar besok pagi jam 5 Ivan bangun dan langsung menjual ikan. Dengan usaha ini dapat membantu memenuhi kebutuhan harian dan uang kuliahnya. Bagi Ivan semua pekerjaan itu tidak boleh dibedakan, yang penting halal dan menghasilkan uang. Menjual ikan digelutinya dengan senang hati. Cukup 2 jam digunakannya lalu jam 8 dia sudah ke kampus. Walhasil, kebutuhannya terpenuhi dan membuatnya terbiasa mengatur pola hidup disiplin. Suatu hari di kampus Ivan dipanggil seseorang. Ia tak menyadari juga apa maksudnya. Seorang gadis dari Sabu terheran-heran padanya. "Bukannya ini yang biasa jadi langganan ikan di rumah yachh? Ivan menyambutnya dengan tersenyum. Iya benar. Saya selalu melayani kebutuhan ikan di beberapa rumah yang sering dikunjungi. Wah, bagus ya. Wahhh, baguslah kalau begitu. Lanjut gadis itu. Ya ialah. Sambil kuliah isi waktu biar tidak jenuh, sela Ivan. Ivan mengambil tempat di salah satu bangku panjang di situ. Banyak mahasiswa yang duduk sambil menunggu waktu kuliahnya. Mereka bisa menggunakannya dengan membaca atau menyelesaikan tugas-tugas, sambil disuguhkan dengan secangkir teh atau kopi dan pisang goreng. Ivan datang dengan maksud menunggu jam kuliah sambil membaca. Tanpa disadarinya datanglah Lidya dan mendekat. "Kak Ivan, ini tas yang aku beli kemarin. Kebetulan aku tidak punya apa-apa. "Selamat ulang tahun yach kak..., sambil menyodorkan tas sarung dari tanah Marapu. "Waduhh, koq Lidya tahu kalau hari ini saya ulang tahun ya? Tanya Ivan tak percaya. Ya ialah. Jujur, sejak peristiwa itu aku merasa sangat dekat dengan kakak. Aku sampai merasa bersalah membuat kak Ivan terluka. Yachh.. kalau yang itu lupakan saja. Biarkan berlalu karena apakah ada manfaatnya bila diungkit kembali? Tanya Ivan. Memang tidak kak, tetapi dengan itu aku belajar banyak dan bahkan ingin selalu jadikan kak sebagai teman. Wah, itu sangat berlebihan Lidya, sanggah Ivan. Benar kak...!! Aku mohon. Pinta Lidya. Bersamaan dengan itu Ivan terdiam. Dalam hati kecilnya ia mengagumi sifat gadis Sumba ini. Dipandangnya mata itu yang menanti dengan penuh harap. Begitu bening berkemilau, pancaran matahari hatinya. Lama berdua terdiam. Lidya tertunduk malu. Ia berpikir ini sebuah kejujuran hatinya. Meminta bukan berarti dinilai sebagai perempuan murahan. Memang ini suara jiwanya yang telah lama terpendam. Semalam ketika menyiapkan kado ultah untuk Ivan, Lidya mendisposisikan sikapnya untuk terbuka. Persoalan terima atau tidak bukan yang utama. Baiklah jika itu yang kamu minta saya terima. Jawab Ivan membelah keheningan itu. Mendengar kata-kata Ivan itu Lidyapun tersenyum sambil mengaggukkan kepala. Terus di hari ultah ni kak Ivan mau minum apa? Biar aku layani. "Teh segelaspun boleh. Baru kali ini Ivan merayakan hari ultahnya di kampus berdua Lidya. Begitu sederhana, tetapi oleh kehadiran gadis itu Ivan merasa lain dari biasanya. Ketika malam sebelum tidur Ivan menulis kisah di hari ini lagi.
Terlanjur Jatuh
Aku suka caramu
Saat aku tak pernah tahu
Kau telah menyelaminya
Jujur sering tertutup mata hati
Jalan berasa kelam
Kau datang sebagai matahari
Memburat kemilau di bola matamu
Kau tersenyum seindah pelangi
Hidupkan kemarau jiwa
Di perjalanan panjang kelana ini
Ivan sebenarnya suka pada gadis Waingapu itu. Bilakah mungkin ada waktu bagiku bertemu dengannya.
Dua bulan sudah dilewati. Ivan memang sibuk dengan aktifitasnya. Dua bulan Ivan tak pernah bertemu Lidya. "Ke mana ya gadis Marapu itu? "Sepertinya ada rasa rindu kepadanya. Ivan coba mencari ke warung kopi yang mempertemukannya ketika di hari ulang tahunnya. Lama Ivan duduk sambil mengamati sekelilingnya. Semua kosong. Ivan baru mengalami arti kehilangan. Sekarang saya harus mencari dan menemukan Lidya. Janji Ivan dalam hatinya.
Suatu hari Ivan apel lagi di warung kopi sambil mempersiapkan tugasnya. Tiba-tiba Ivan merasa ada yang menepuk bahunya dari arah belakang. "Hei kawan jumpa lagi kita. Dilihatnya orang yang menyapanya. "Aduh Ama, lama tidak bertemu. Apa khabar? Baik kawan, jawab Ama. Setelah duduk bercerita Ama langsing menyampaikan kepada Ivan. "Kawan, saya minta maaf kejadian tempo hari. Jangan dipikirkan lagi ya? Tentang apa kawan? Tanya Ivan sedikit berpura-pura. Kejadian saat aku yang memukul kawan di lobi kampus. Owh, itu sudah saya maafkan, juga kepada Lidya kawan. Jawab Ivan. Baiklah kawan. Omong-omong ke mana ya Lidya kawan? Sontak Ivan balik bertanya kepada Ama. Tampak wajah Ama berubah agaknya iapun sedih. Setelah diam Amapun angkat bicara. "Lidya,,,, dia sudah kembali ke Waingapu. Dia pergi karena urusan yang tidak bisa dihindari. Saya sudah tanya ke keluarganya, katanya Lidya tidak bisa pulang lagi. Mendengar itu, Ivan berasa seperti tak percaya. Ia cuma memandang meja dan bangku kosong tempat Lidya terakhir kalinya datang menemuinya. Ivan baru menyesali semuanya. Mau bilang apa. Nasi telah menjadi bubur. Lidya pergi tanpa pesan dan tidak mungkin kembali lagi.
Bersama dengan perputaran waktu Ivanpun menyelesaikan studinya. Kini ia bekerja di salah satu instansi pemerintah di Lembata. Kesibukannya bekerja membuatnya sering ke luar daerah. Hingga di malam itu ketika Ivan di Kupang tiba-tiba Ivan berkeinginan mencari alamat teman atau sahabat yang ada di Waingapu. Dan seperti durian runtuh. Ivan akhirnya berhasil berteman dengan Lidya. Ia menemukan gadis Marapu dengan kemilau senyuman mutiara yang pernah jadi idola hatinya. Lidya yang dulu seperti Lidya yang sekarang di pajangan foto-foto akun pribadinya. Gadis Marapu wajah teramat manis, dengan senyuman sejuk segar di wajahnya. Ivan menyadari betapa kehaduran Lidya sebagai bagian dari hidupnya. Seperti matahari berkemilau dari tanah Marapu
Selalu pancarkan sinar seiring waktu. Ingin Ivan kembali seperti dulu, tetapi apa daya kodrat manusia telah berbeda. Jika saat chating Ivan dan Lidya selalu saling cerita tentang suasana kehidupan keluarga. Mereka tetap saling menghormati dan yang lebih penting menjaga hubungan baik. Walau jauh di mata tetapi tetap saling berceritera tentang suka duka hari-hari hidup ini.