Surat Untuk Mama
Dengarkan aku cukup untuk sebentar saja. Ingin aku berkisah lagi tentang perjalananku kepadamu. Tentang suka cita bersama, juga ada saja kecewa dan air mata. Terima kasih untukmu karena telah menimangku penuh cinta, telah memapah dan menggenggam tanganku untuk mampu berjalan hingga aku menemukan ke mana pergi. Aku tahu mama mencemaskanku, dan sering karena tingkahku membuat air matamu berderai dalam doa-doa yang selalu menyebut namaku. Itu karena mama tahu perjalanan hidup di dunia begitu sulit. Sering di sekian berlalunya waktu aku merasa sendirian, ada gelisah membuntut, ada kecewa mengadu. Begitu banyak tantangan dan harapan datang pergi. Aku ingin pulang kembali ke pangkuanmu seperti dulu, sembari meminta diperhatikan ataupun ketika ingini sesuatu hanya kepada mama aku terbuka. Kala seperti itu betapa bahagianya hati mendengarkan nasihat lembut yang mama sentuh lewat kata-kata dan belaian tangan penuh kasih. Tetapi semua itu kini telah berlalu dengan perjalanan usiaku yang telah dewasa. Mama yang begitu berharga di mataku. Sangat berarti di hidupku sebagai mutiara kehidupan nan kemilau. Mama sungguh menjadi permata suara jiwa dan sebening air yang terus mengalirkan kesejukan di tengah kering panjang kemarau. Mama, bolehkah aku jujur ketika jarak dan waktu menimpaku aku bagai sebuah perahu terombang ambing di tengah luas samudera. Mama pasti merasakan saat hujan angin menerpa, saat sendirian di pekat gelapnya cuaca selalu kusebut namamu. Cuma ini mama. Padahal apalah makna sebuah pengorbanan antara hidup dan mati mama untukku? Seperti pesan-pesan yang mama selalu iringi ketika makan bahwa "Di sekitar kehidupan ini terjadi bermacam-macam teguran dan sapaan." Seringkali kutemukan banyak orang yang merangkulku sebagai teman dan sahabat. Ada juga yang mengungkapkan amarah, cemoohan, cibiran baik langsung maupun kudengar dari orang lain. Ada yang memuji, memberi dorongan, membantu, menolong bila aku butuhkan maupun dengan spontan. Tetapi juga ada yang sengaja manis ucapan di bibirnya lalu di belakang sudah menjadi pecundang. Satu pesan yang melekat dan terus kubawa ke mana saja adalah, "Anakku jangan takut akan hidup ini. Teruslah berjalan melewati lorong panjang walau kadang jatuh hingga membuatmu terluka dan putus asa. Pahamilah bahwa itulah dinamikanya kehidupan. Satu hal yang harus dipegang bahwa sukse itu hanya dapat diraih melalui kegagalan-kegagalan yang dialami dan menjadikan kita belajar dari sini dan berani bangkit berjalan lagi." Itulah mutiara cintamu yang terus berkilau terang jalan, menguatkan langkah kaki menyusuri pengapnya lorong kehidupan. Mama memang bagai sebening air yang mengalirkan kesejukan kala dahaga menghadang di panjang kemarau ini. Mama sungguh ada walau sering tak dekat denganku. Menjadi berarti bila saat-saat aku sendirian hanya dengan menyebut namamu itu sudah cukup bagiku. Mama selalu hangatkanku, dian yang tak kunjung padam di kedalaman nubariku. Walau semua yang telah mama korbankan untukku itu, tidak mungkin aku membalasnya. Tetapi kepadamu mama akupun ingin pulang. Bukannya agar setiap waktu bersamamu. Bila seperti ini namanya kodrat memisahkan kita. Aku mengadu kepadamu, maafkan aku mama. Kekhilafan kata dan keterbatasan diri tak bisa mengobati cinta mengabdimu bagiku. Hanya melalui ini mama, kutulis sebait doa untukmu. Semoga jasa dan pengorbanan mama diberkati Tuhan dan mama memperoleh rachmat perlindungan dan cinta hakiki yang telah mama pertaruhkan dalam keseharian hingga di usia senjamu ini. Ya Tuhan jaga dan lindungi mama agar tetap ceria dan dijauhi dari marah bahaya di tengah dunia ini.